twitter


JAGALAH AKU DARI CINTA


“shodaqallahul ‘adziim” Alhamdulillah telah khatam aku mengaji ilmu al-Qur’an di pesantren sepuh ini, Pesantren Darul Qur’an namanya. Iya, di pesantren kecil yang bertembok kayu berwarna kuning sederhana dan berlantai putih nan suci inilah aku menimba ilmu agama disini. Sederhana memang, tapi sungguh istimewa di dalamnya. Peran seorang kyai yang sungguh mulia dan para santri yang gigih menimba ilmu inilah yang menjadikannya sunggguh istimewa. Dan sedari kecil, aku mengenal 28 huruf hijaiyyah disini hingga akhirnya akupun telah mengkhatamkan Al-Qur’an disini. Sebab pesantren ini letaknya berada tepat di depan rumahku.
Terdiam aku duduk di dalam pesantren kecil ini sambil terdengar lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an dari para santri lainnya. Dalam diamku aku berfikir ingin melanjutkan petualanganku untuk memperdalam ilmu agama.
“heyyy” suara sahabatku mengagetkan suasana. Dialah niya yang selalu menemani ngajiku.
“hey niya, kamu ini bikin kaget aja”
“ngalamun apa sich?”
“niya, spertinya aku ingin melanjutkan ngajiku di pesantren kampung sebelah dech”
“di pesantren mana? Al-Hidayah? Wah aku juga pengen tuch, tapi aku kan belum khatam” jawab niya dengan muka cemberut dan bibir manyunnya, hhe
“bukannya kamu bentar lagi khatam? Ditekuni dulu al-Qur’annya, semuga cepet khatam dan berkah?” dengan senyumku, ku coba untuk menghapus muka cemberutnya dan melebarkan bibir manyunnya.
“kita ke pesantren sebelah barengan aja yuk, aku gak berani kalo aku harus memulai ngaji disana dengan sendiri”
“wah, ide bagus tuch, aku juga gak begitu berani kalo harus sendiri, hehe” jawabku dengan menyetujui usulannya.
Sembari aku menunggu niya mengkhatamkan al-Qur’annya aku tetap mengaji di pesantren Darul Qur’an ini. Hari-hariku disini ku isi dengan melantunkan ayat-ayat al-Qur’an dan membantu Kyai mengajari adik-adik mengenal huruf hijaiyyah.
Tak terasa telah tiga bulan aku menunggu niya, dan Alhamdulillah sekarang niya telah mengkhatamkan Al-Qur’an. Sekarang yang harus kita lakukan adalah melanjutkan misi kita untuk mengembara ilmu di pesantren kampung sebelah.
“hey niya, wah… selamat ya udah khatam al-Qur’an” sapaku pada niya.
“hhm, makasih?” jawab niya dengan senyum manisnya.
“ouw ya, kemarin aku menemui mbak ila dan menanyakan ngajinya di Al-Hidayah, aku juga menanyakan kitab yang dikaji, dan ini kitabnya udah aku beli dua”. Sambil aku menyodorkan satu kitab untuknya. Kitab Mukhtarul Ahadits inilah kitab yang dikaji di pesantren Al-Hidayah. Aku mengetahuinya dari mbak ila. Sebab mbak ila adalah salah satu santri disana.
“wah, makasih ya, jadi kapan nich kita mulai ngajinya?”
“nanti malam ya, sementara kita punya satu kitab dulu. Nanti yang lain menyusul, ok!!!”
“ok dech, tak tunggu nanti malam ya”
Kini mentari telah melingsirkan cahayanya. Tanda bulan dan bitang-bintang yang akan menggantikan posisinya. Dan adzanpun telah berkumandang menghias suasana damai, membangkitkan semangat dan menggerakkan hati untuk menghadap Sang Khaliq. Kulangahkan kakiku dengan bismillahirrahmanirrahim. Dengan tiga rakaat ini sembah sujudku untuk-Mu ya Allah. Semoga Engkau selalu meridhoi Hamba-hamba-Mu.
“innes… Ayo kita ngaji” keluarlah namaku dari lisan seorang gadis cantik nan anggun. Di depan pintuku niya telah menungguku bersama mbak ila.
“iya, bismillah untuk malam pertama?” dengan senyum semangat kulangkahkan kakiku untuk mengawali malam yang insya Allah penuh hikmah ini.
Sesampai di pesantren, pandangan semua santri serentak menuju ke kami. Bak artis yang turun dari mobil sedan, semuanya memperhatikan kami dan memasang wajah penuh penasaran. “siapa ya dua anak ini” mungkin pertanyaan ini yang bersembunyi di hati mereka. Hehe, ah aku GR aja nich. Gak apa lah sebelum GR dilarang aja.
“assalamualaikum” mbak ila memulai sapanya.
“assalamualaikum” niya dan saya mengikuti salamnya.
“wa’alaikumsalam” jawab para santri dengan kompak dan sambil mengulurkan tangannya untuk bersalam-salam mengawali perkenalan. Subhanallah salam yang penuh damai.
Tak lama kemudian Kyai telah masuk ke pesantren. Pertanda ngaji kan segera dimulai.
Ku mulai menggoreskan tinta hitamku di atas kitab kuning yang insya Allah akan selalu memberi ilmu sebagai hidayah untukku, seperti nama pesantren disini “Pesantren Al-Hidayah”. “maknani” inilah nama dari tulisan yang telah aku goreskan. Tulisan ini memang masih terasa asing bagiku, tulisan yang harus dilukiskan mulai dari kanan atas ke arah kiri bawah sehingga berkeadaan miring ini merupakan makna atau arti dari kata-kata atau mufradat dalam tulisan berbahasa arab yang termaktub di dalam kitab kuningku ini.
“wahh?” goresanku mengajakku tersenyum. Tersenyum akan lucunya “maknani” yang telah aku ukir. Tak seindah dengan yang diukirkan oleh mbak ila memang. Tapi ini adalah awal yang indah untuk sebuah keindahan yang insya Allah dapat mengantar ke surge-Mu Robby.
Malam demi malam telah ku lalui. Dan Insya Allah malaikat-malaikat selalu mengiringi dalam setiap langkah kami. Bahkan mereka telah menggelarkan sayapnya agar kami dapat menapakinya. Sebab inilah yang disabdakan oleh Nabi SAW untuk para pengembara ilmu.
“Sesungguhnya para Malaikat meletakkan sayap-sayapnya bagi penuntut ilmu, Ridho terhadap apa yang ia cari”.
Subhanallah, sungguh Engkaulah Yang Rahman dan Yang Rahim. Hanya dengan kasih sayang-Mu kami dapat menapaki sayap malaikat.
Dan bergantinya malam membuatku semakin erat bersahabat dengan para santriwati. Memang tak sedikit pula santriwan yang ada di sini. Tapi kami para santriwati tak begitu akrab dengan mereka. Bukan karena tak mau berkenal akrab dengan mereka, tapi berkenal dengan lawan jenis itu harus ada batasan-batasan syariah, sebab islam sangat menjaga umatnya, apalagi dalam menjaga wanita. Subhanallah…
Tak pernah aku sadari, ternyata salah satu dari para santriwan disini ada yang selalu memperhatikanku. Duh, sepertinya aku GR lagi dech. Hmmm, GRnya belum dilarang kan?.
“ihsan” santriwan yang satu ini memang termasyhur dengan murah senyumnya. Tapi jangan dikira senyumnya murahan lho yaaa? Hehe. Kan senyum itu ibadah.
Selain dia itu murah senyum, Ihsan kaya akan pujian dari orang-orang sekelilingnya. Ia berhasil mengumpulkan predikat ganteng, ramah, sopan, santun, rajin, soleh dan lain lain. Bahkan jika ada tropi untuk predikat tersebut, mungkin telah banyak tropi yang ia peroleh. Dan inilah yang membuat banyak orang mengaguminya, baik dari kalangan muda yang mendambakannya, maupun para ibu yang mengharapkannya untuk menjadi seorang imam untuk anak putrinya.
Hmmm, serasa jadi wanita paling beruntung ketika aku mendengar bahwa ia telah menyisihkan hatinya untukku. Meski demikian, “Ya Allah semoga engkau selalu menjaga hambamu yang lemah ini, menjaga dari godaan syetan, menjaga dari nafsu karena lawan jenis, dan Kuatkanlah hati hamba Ya Allah”. Hanya doa yang merintih di hatiku.
Tepat pada tanggal 12 Rabi’ul Awal. Di malam kelahiran Rasul Yang Mulia para santriwan bergadang untuk bersenandung sholawat dan mempersembahkannya kepada Nabi kita Yang Agung. Dan di sela-sela kegiatan malam ini Ihsan mencoba menghubungiku melalui pesan singkat dari ponselnya.”
“Assalamualaikum”
“Wa’alaikumsalam”
“belum tidur ya? Emang lagi apa?” kala itu memang waktu menunjukkan jam 21:00, waktu yang pada umumnya digunakan untuk singgah di alam mimpi.
“belum nich, karena masih banyak tugas school yang harus diselesaikan”
“berarti aku ganggu donk”
“enggak kok, lagian kan jadi ada temennya bergadang, hehe” dengan tawa singkatku ini, kucoba untuk menghapus rasa bersalahnya.
“hmmmm, boleh aku Tanya?”
“boleh, Tanya apa?” dalam hatiku berkata ‘mau tanya kok pake ijin dulu yaaa, apa nantinya dia mau Tanya yang…’ perasaan penasaran telah malabuhi hatiku.
“bolehkah jika lisanku mengatakan cinta untukmu?”
Deggg, hechhhh, jantungku berdegup, dan ku hela nafas panjang. Otakku yang tadinya terisi oleh rumus-rumus matematika karena tugas sekolahku. Kini rumus-rumus itu entah kemana, akankah kata cinta darinya itu telah berhasil mengusir rumus-rumus itu? Atau mungkin detak jantungku tadi yang telah menggugurkan rumus-rumus itu? Ya Allah, aku memang tak ingin pacaran, tapi sepertinya hatiku ini telah menangkap perasaan cinta darinya. Aku pun tak dapat memungkiri kalau diriku pun sebenarnya juga mempunyai rasa yang sama dengannya. Apa yang harus aku lakukan Tuhan?
Aku lanjutkan berfikir bagaimana aku membalas pesan singkatnya itu. Di dalam pesannya dia tidak mengajakku untuk berpacaran. Al-hasil, inilah jawabanku:
“boleh”
Kembali aku berfikir, semoga ini jawaban yang tepat. Toh cinta datang dengan sendirinya. Perasaan itu tulus hadir dan tak ada yang dapat menghentikan atau melarangnya. Hanya Allah lah yang dapat memberi rasa itu. Dan Allah yang dapat mengatur perasaan setiap insan. Dan aku berharap dia tidak menganggapku sebagai pacar. Aku hanya membolehkan perasaannya saja.
Berawal dari pesan singkat malam itu kini berkelanjutan yang seolah-olah telah menjadi kewajiban sehari-hari. Setiap malam namanya selalu bertamu di ponselku. Dan hanya karena layar ponselku ini aku selalu melukis senyum sendiri. Aku merasa asyik dengan kata demi kata yang telah ia send ke 12 digit nomor ponselku.
Dalam setiap pesannya kadang dia menanyakan tentang kesimpulan dari ilmu ngaji yang kita dapatkan tadi. Ini yang membuatku semakin membiarkan perasaannya tertanam di hatiku. Kadang dia juga memberiku semangat, mengajakku untuk lebih beribadah, dan tentu dia juga menghiburku dengan candanya yang ringan. Sehingga aku tak pernah merasa bosan berkomunikasi dan berbagi senyum dengannya.
Telah sekitar 2 tahun kita hanya berkomunikasi melalui pesan singkat. Sebab aku masih takut jika harus bertemu dan bertatap muka dengannya. Aku takut jika aku tidak dapat menjaga pandanganku, aku takut ada fitnah nantinya, dan yang lebih aku takutkan adalah aku takut jika Allah marah denganku.
Namun sayang seribu sayang, perasaan takut itu perlahan mulai luntur. Aku mulai meng-iya-kan ketika ia mengajakku keluar untuk bertemu. Meskipun kita hanya keluar untuk makan, tapi kita keluarnya hanya berdua tanpa ada yang menemani. Dan ini sangat dilarang oleh Agama. Apalagi diantara kita menyimpan perasaan. Sangat mudah jika syetan mengelabuhi perasaan kita.
Awalnya sekedar memandang memang, tapi terkadang kita sesekali berpegangan tangan, Astaghfirullah. Ya Allah maafkan aku, aku tahu aku telah menerjang apa yang telah engkau larang. Ya Allah, maafkan aku, sungguh maafkan aku.
Akupun tak mau hal ini berkelanjutan, hingga pada akhirnya aku mengambil keputusan untuk berhenti berkomunikasi dengannya. Sebab, dengan aku yang terlalu sering berkomunikasi dengannya yang ada aku malah semakin tak bisa menjaga diri, dan bisa-bisa rasa takutku tadi akan semakin luntur, luntur dan luntur.
Dan ketika aku mencoba menjelaskan keputusanku untuk berhenti berkomunikasi, ternyata dia malah salah paham. Dia malah merasa bersalah dan selalu bermohon-mohon maaf padaku. Padahal aku sama sekali tak menganggapnya salah, ku coba dan selalu ku coba untuk menjelaskan. Dan akhirnya dia paham juga, tapi dia tidak mau jika kita harus behenti berkomunikasi. Sebab dia telah berdoa dan bertekad bahwasannya “dialah yang kelak akan mengimamiku”. Ya Allah, aku hanya bisa berdoa dan memohon ampun dari-Mu.
Namun keputusanku ini aku rasa sudah bulat, aku harus berhenti berkomunikasi dengannya, agar aku benar-benar dapat menjaga hati dan imanku. Aku memang punya harapan yang sama dengannya, yaitu “dialah yang kelak mengimamiku”. Meskipun demikian, ini adalah sebuah harapanku, sedangkan kenyataannya nanti hanya Allah lah yang tahu. Aku hanya ingin hati ini terjaga untuk yang pantas memilikinya. Jika pada akhirnya nanti dia yang kan memiliki hati ini, maka aku kan bersyukur karena inilah harapanku dan aku memberikannya hati yang terjaga, dan jika nanti dia bukan untukku, maka aku yakin Allah akan memberi yang lebih baik darinya.
Kini hari-hariku telah aku lalui seperti sebelum aku mengenalnya. Meski kita sudah tidak lagi berkomunikasi, tapi aku tetap menjalanani rutinitasku mengembara ilmu agama di kampung sebelah. Setiap hari memang kita bertemu, tapi kita tidak pernah berkomunikasi di dalam pesantren. Dulu kita memang sering saling melempar senyum, tapi kini senyum itu lebih baik aku simpan saja. Aku hanya terdiam saat bertemu dengannya. Jangankan saat bertemu, pasannya juga tidak pernah aku balas, dan telponnya tidak pernah aku angkat. Ya Allah, mungkin ini terlalu sadis, tapi aku melakukannya agar aku dapat terhindar dari yang kemarin-kemarin. Aku tak ingin hal itu terulang lagi. Lagian jika nanti jodohku pasti dia akan bertemu denganku.
Dia memang seorang pemuda yang pantang menyerah. Meskipun telah cukup lama aku tak pernah membalas pesannya, tapi dia selalu berusaha untuk mengirim pesan hanya untuk menerima balasan dariku.
Dan setelah aku merasa siap untuk mengembalikan komunikasiku padanya, aku mulai membalas pesan singkatnya. Meskipun demikian, aku harus tetap berpegang teguh untuk selalu menjaga hatiku dan jangan sampai kejadian yang dulu kan terulang lagi. Akhirnya ponselku pun menerima pesan darinya.
“assalamualaikum”
“waalaikumsalam”
“Alhamdulillah ya Allah, dia telah membalas smsku, maafkan aku ya, gimana kabarmu sekarang?” jawaban ini mungkin menunjukkan perasaan leganya.
“aku Alhamdulillah baik, kamu juga baik kan?”
“Alhamdulillah, aku baik juga, gimana? Kamu udah punya pacar ya?” deggg, hatiku berdegup, namun tak sekuat saat dia pertama kali mengucap cinta dulu. Tapi yang ada di fikiranku adalah kenapa dia bertanya demikian? Apa dia…
“pacar? Kamu kali yang punya pacar baru” aku hanya bisa menjawab demikian.
“cowok jelek gini siapa yang mau? Kamu aja menolakku, hehe”
“hehe” aku hanya tertawa singkat untuknya.
“kamu kalo udah punya pacar bilang aja, gak apa kok”
Hmmm, lama kelamaan aku bosen kalau dia hanya nanya-nanya tentang pacar. Lagian kan aku gak ingin pacaran. Emang apa sich pacar itu?
“kamu bilang dulu kalau udah punya pacar, entar giliran aku yang bilang” jawabku, karena sebenarnya aku juga ingin tahu apakah dia udah punya pacar apa belum.
“beneran nich? Entar kalo aku udah bilang kamu beneran mau bilang kan?”
“iyaaa”
“ya udah, aku akui dech, aku memang udah punya pacar. Sebab setelah sekian lama kamu menjauh dariku, aku rasa aku tak ada harapan lagi untukmu”
Ha? Udah? Wah hatiku kecut saat membaca pesan darinya itu. Dia telah mengingkari tekadnya sendiri. “Ya Allah dulu aku telah terlanjur berharap pada-Mu untuk menjadikannya sebagai imamku, jika Engkau mengabulkan doaku, maka lindungilah dia Ya Allah, mungkin sekarang dia lagi khilaf. Tapi jika dia bukan untukku, aku yakin Engkau telah menyimpan imam yang teramat baik untukku”. Hanya berdoa yang bisa aku lakukan. Kemudian aku melanjutkan untuk menjawabnya.
“cyeeee, ciapa tuch?” ini yang telah aku kirimkan untuk membalas pesannya, meski aku sendiri tak tahu ini senyum sebagai pertanda apa.
“kamu pasti tau sendiri lah…”
Ha? Kok tau sendiri? Dalam hatiku menebak nama seseorang.
“mbak kaisha kah?”
“iya, sekarang aku menagih janjimu untuk mngatakan apakah kamu udah punya pacar apa belum”
Hmmm, sebelum aku menjawabnya, aku berfikir bahwa Mbak kaisha adalah sahabatnya, aku memang tidak begitu mengenalnya sich. Tapi dulu dia sering cerita kalau dia punya teman dekat yang namanya “kaisha”
“wah… langgeng ya, aku gak punya pacar kok, dan Alhamdulillah aku fine dengan hidupku yang sekarang”
“ouw gitu ya, ya udah semoga Allah selalu melindungimu ya”
“amiin, kamu juga dech?” akhir dari pesan singkatku dengannya.
Kini telah terjawab sudah perasaannya yang tidak seperti dulu lagi. Tapi aku tak menyesalinya. Karena aku punya Allah. Aku yakin Allah tau apa dan siapa yang terbaik untukku. Dialah yang dapat menentukan jalan hidupku. Aku yakin semua kan terasa indah pada waktunya. Semua ini kan menjadi pelajaran bagiku. Dan inilah hikmah dibalik apa yang aku alami. Ya Allah jagalah aku dari cinta yang suci.

0 komentar:

Posting Komentar